Selasa, 27 Mei 2008 10:34 WIB
Mencari Tuhan Di Penggorengan Pisang Raja
WASPADA ONLINE Cahyo Pramono
Pengamat & Praktisi Manajemen
SORE hari terasa lezat jika disisipi beberapa potong pisang goreng dan teh manis hangat. Setelah lelah berdiri beberapa jam menyampaikan materi pelatihan, laju mobil saya bergerak ke warung gorengan yang tidak jauh dari komplek perhotelan mentereng di negeri ini. Kaca mata bisnis saya selalu saja senang memperhatikan geliat orang-orang yang berani menolong diri sendiri dan keluarganya melalui usaha halal dalam bentuk apa pun. Melihat warung ini, saya mencoba mengkalkulasikan kira-kira berapa besar nilai bisnisnya. Bagaimana pengelolaannya, bagaimana pemasarannya, teknik jual si pelayan dan berbagai hal-hal teoritis lainnya. Seorang paruh baya menyodorkan sepiring pisang goreng ke hadapan saya sambil tersenyum ramah dan berbasa-basi mempersilakan mencicipinya sekaligus menanyakan minuman apa yang saya minati.
Pemilik wajah yang begitu teduh dan damai itu bernama Sudiro yang akhirnya saya tahu bahwa panggilan akrabnya Wak Diro. Menikmati pisang goreng terasa lebih hangat dengan obrolan ringan bersama Wak Diro. Dalam guyonan yang mengalir saya tahu ternyata Wak Diro adalah perantau asal Kudus yang sudah 16 tahun menjual gorengan pisang. Dalam satu hari dia bisa menghabiskan satu tandan besar dan hasil penjualannya bisa menyekolahkan ke empat anaknya hingga menjadi sarjana. Wak Diro rupanya jebolan fakultas teknik universitas negeri tertua di Yogyakarta, walau ia hanya bisa sampai semester lima. Kenapa tidak bisnis yang lain Wak? Atau menjadi pegawai negeri? Tanya saya menyelidik. Belum sempat menjawab pertanyaan saya, ia menggukkan badan tanda permisi kepada saya karena datang satu mobil Kijang Inova baru yang mendekat. Ternyata mobil itu dikemudikan oleh istrinya yang mengantarkan sesuatu. Fikiran saya berputar tak tentu. Tanpa sadar saya sedang menakar kantong orang tua ini. "Seorang penjual pisang goreng mampu menguliahkan keempat anaknya hingga sarjana dan kini didepan mata saya, si isteri datang dengan mobil baru yang tidak murah harganya".
Bukan cari uang
Sekali lagi saya jarah lagi semua sudut warung kecil itu. Penataan dagangan lumayan menarik, tetapi tidak istimewa. Kualitas produknya berupa gorengan juga terasa sama seperti pisang goreng ditempat lain. Atmosfir warung juga sama seperti warung-warung lain, walau yang ini terlihat lebih bersih dan terjaga. Sarana promosi sangat sederhana, hanya tulisan Pisang Goreng Panas yang ditulis tangan dengan kuas biasa. Daftar harga tercetak di selembar kertas terlaminasi yang ditempel di dinding sebelah kiri. Ada dua orang pegawai yang membantu menggoreng, membuat minuman dan melayani pelanggan sekaligus. Tetapi jumlah pembelinya silih berganti, tidak sederas air pancuran, tetapi datang satu-satu seperti tiada henti.Tak lama kemudian istri Wak Diro pergi, kata Wak Diro, isterinya harus mengantar beberapa kertas tisu ke lima cabangnya yang lain. Dan informasi itu membuat saya memilih untuk bertahan lebih lama demi mengetahui apa rahasia sukses bisnis ini.
Setelah melewati beberapa basa-basi, lalu ia bertanya kepada saya: "Mas, sampean apa percaya sama Gusti Allah?". Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena saya tidak bisa memperkirakan kemana arah pemikirannya. Lalu tanpa menunggu jawaban saya, Wak Diro menjelaskan dalam delapan tahun terakhir dia tidak lagi mencari uang semata, tapi mencari Tuhan. "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah". Seperti pengakuan kebanyakan manusia, dia meyakini hanya Tuhan yang sanggup mengarahkan dirinya kepada kondisi apa pun. "Mas, saya bukan jualan pisang goreng lho," aku Wak Diro, "Saya ini sedang membantu orang-orang agar bisa beribadah dengan baik". "Wow...fikir saya, apakah penjual pisang goreng ini masih waras? "Saya ini senang membantu banyak orang dengan mengganjal perutnya agar ibadah shalat Ashar dan Maghribnya berjalan dengan baik, karena jam makan malam biasanya setelah Isya," terang Wak Dirno. Saya mulai memahami apa maksud kalimat Wak Diro sebelumnya. "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah".
Kini saya faham, mengapa dia begitu ramah menyambut tamu-tamunya, kualitas gorengan tetap terjaga baik ukuran maupun takarannya dan ruangan kedai ini tetap terjaga kebersihannya. Jelas bukan karena sekadar mencari uang, tetapi Wak Dirno sedang beribadah. Mencari keridhaan Tuhan. Seperti dijanjikan Allah ketika kita bersyukur, maka nikmat itu terus bertambah dan mengalir lancar.
Saya benar-benar terbayang betapa saya dan banyak sahabat saya yang kerja mati-matian siang -malam hanya sekadar mencari uang. Bayangan itu begitu asam terasa setelah mendengar pengakuan Wak Dirno itu. Betapa Wak Dirno sudah menemukan kunci dasar sukses bisnis. Dia tidak sekadar menjual jajanan, dia muncul dengan alasan yang lebih mulia. Pisang goreng hanya media mendapatkan ridha Sang Khalik. Semua bentuk kerja dan bisnis dikerjakannya dengan menghadirkan batin, tulus dan ikhlas.
Khawatir
"Bagian saya adalah mempermudah ibadah orang lain, bagian Gusti Allah menjaga saya mas, saya hanya pasrah dan memohon agar selalu dituntun Gusti Allah," aku Wak Dirno. "Apa pun langkah saya, saya percaya Gusti Allah akan menyelamatkan saya. Jika saya dibawa ke kubangan kebo sekali pun, saya tetap percaya kalau itu adalah kehendak Gusti Allah dengan maksud tertentu agar saya mendapatkan hikmah atas perjalanan itu".
Menyelesaikan pisang terakhir, saya bertanya, "Wak, apakah sampean tidak khawatir dengan kenaikan BBM?" dengan ringan Wak Dirno menjawab, "Lha wong, saya sudah serahkan hidup saya ke Gusti Allah, kok mesti khawatir?" Sambil mengulurkan uang kembalian ke saya, dia berujar: "Saya kan cuma kawulo, apakah pantes kalau saya ikut campur tangan ngatur kerjaan Kanjeng Gusti?"