Friday, November 27, 2009

:: Haji, qurban & jihad

ZOOM2009-11-26
Haji, Qurban, dan Jihad

Said Aqiel Siradj


Ziarah keagamaan adalah ritual yang lazim dalam hampir seluruh tradisi keagamaan, baik di Barat maupun Timur. Seperti halnya dengan ibadah haji. Ia wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu, baik secara ekonomi maupun mampu secara fisik, setidak-tidaknya sekali dalam hidup. Uniknya lagi, ibadah haji tidak bisa dilaksanakan di sembarang waktu, tetapi hanya sah dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada hari ke delapan, sembilan, dan sepuluh bulan terakhir almanak Hijriyah. Di luar waktu itu, ibadah yang dilakukan bukanlah ibadah haji, tetapi umrah (haji kecil) saja.

Ka'bah dan Arafah adalah dua simbol yang turut mengaitkan Islam dengan agama monoteis sebelumnya yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi Adam. Ka'bah dibangun atas perintah Allah kepada Nabi Ibrahim, yang merupakan nabi dari agama-agama monoteis (QS. 22;78). Sedangkan, Arafah adalah simbol dari pertemuan kembali Adam dan Hawa, setelah mereka terlempar dari sorga karena tergoda oleh iblis. Wuquf di Arafah, merupakan simbolisasi dari penyatuan nenek moyang manusia dan keturunannya di bawah naungan bukit kasih sayang (jabal rahmah).

Ritual-ritual utama ibadah haji bermula dan berakhir dengan thawaf mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Di antara thawaf-thawaf itu para jamaah haji wajib melakukan wukuf (diam) di Arafah pada tanggal 9 sampai terbit fajar tanggal 10 bulan haji. Wukuf di Arafah hukumnya wajib dalam pelaksanaan ibadah haji.

Dilihat dari simbolisasi ritual-ritual dalam ibadah haji, sungguh memprihatinkan jika anak cucu Adam dan Hawa atau para pengikut Nabi Ibrahim berkelahi dan saling membunuh. Konflik antaragama ini memperlihatkan bahwa kesadaran kita tentang afinitas historis dan doktrinal keagamaan dalam sosok Nabi Ibrahim semakin mengendur. Artinya lagi, masyarakat telah kehilangan kasih sayang, seperti dengan jelas disimbolisasikan dengan pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah, Padang Arafah. Bahkan, sebagian kita sudah melenceng dari semangat kasih sayang dan kemanusiaan universal yang dilambangkan dengan pakaian ihram yang serba putih dalam ibadah haji yang menjadi penanda mengatasi warna kulit, suku, dan identitas kultural lainnya.

Ibadah haji itu sendiri melibatkan proses perpindahan dari dataran kehidupan profan kepada kesucian (ihram). Proses penyucian ini tidak hanya mencakup ritual-ritual purifikasi, tetapi juga penyucian diri dari tanda-tanda lahiriah yang menunjukkan diferensiasi sosial. Seluruh ritual dalam haji bertujuan untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan sehari-hari yang memisahkan satu sama lainnya, entah itu perbedaan gender, sosial, ekonomi, kebudayaan, etnisitas, posisi social, dan sebagainya. Mereka semua sama, sejajar di hadapan Tuhan dan bersama-sama menempuh pengalaman kebersatuan umat. Dengan begitu, ibadah haji memberikan kesempatan yang unik, bagaimana umat Islam seharusnya egaliter, multietnis dan cultural, serta mengabdikan kesatuan umat hanya untuk pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam wahyu ilahi.

Makna Qurban

Ibadah haji yang bersumber dari tradisi keagamaan Nabi Ibrahim tentu saja terkait erat dengan ibadah qurban. Perintah qurban bermula ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi untuk menyembelih (mengorbankan) putranya, Ismail, seperti termaktub dalam al-Quran surah al-Shaffat, 100-101.

Perintah Allah ini jelas ujian yang berat bagi Nabi Ibrahim. Karena baginya, Ismail bukan sekadar seorang putra, tetapi idaman hati dan pelipur lara di tengah perjuangan hidupnya melawan penindasan Namrud dan untuk menegakkan tauhid.

Inilah jihad akbar, jihad melawan kemauan dan egoisme diri yang sering justru menguasai manusia, baik individu maupun kelompok. Ketika egoisme menguasai manusia, ketika itulah manusia melupakan Tuhan. Kemunculan egoisme seperti dalam politik, agama atau suku hanya akan mengantarkan masyarakat pada perpecahan.

Kebahagiaan akan dimiliki oleh seseorang yang berjuang demi Allah dengan melawan sifat dan nafsunya sendiri. Orang yang dapat mengalahkan nafsunya akan memperoleh ridha Allah, dan orang yang akalnya meninggalkan nafsunya yang memerintah untuk berbuat jahat melalui perjuangan jihad, penyerahan diri dan kerendahan hatinya demi berbakti kepada Allah, berarti ia telah memenangkan perang besar.

Jika seseorang yang berjuang demi Allah, kemudian melihat orang lain berjuang lebih keras dibandingkan dengan dirinya, maka ia akan memarahi dan mencela dirinya sendiri. Semua ini dilakukannya tidak lain untuk mendorong dirinya agar berbuat lebih banyak. Ia akan menggunakan kekang perintah dan larangan pada dirinya serta meneruskan perjalanannya seakan-akan ia seorang pelatih yang tidak mau kuda tunggangannya mengambil langkah kecuali yang betul-betul cepat. Tidak ada selubung di antara seorang hamba dengan Tuhannya yang lebih gelap atau terasing daripada selubung diri atau nafsu.

Menerima Perintah

Ismail dengan ikhlas menerima perintah untuk mengorbankan dirinya. Tetapi, Allah kemudian mengganti qurban dengan binatang (kambing). Peristiwa ini dijadikan dasar disyariatkannya qurban pada Hari Raya Idul Adha. Binatang sembelihan itu merupakan simbol bagi usaha manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) sesuai dengan kandungan makna yang terdapat dalam istilah "qurban" itu sendiri. Lebih dari itu, ibadah qurban yang ditunaikan di tempat-tempat yang jauh dari Tanah Suci, Mekkah, seperti di Indonesia, berfungsi tidak hanya untuk "mendekatkan diri pada Allah" (taqarrub ilallah), tetapi juga "saling dekat dan akrab dengan sesama manusia" (taqarrub ila nas).

Nabi Muhammad berulangkali menyatakan bahwa ibadah haji adalah jihad, dan jihad adalah amal yang paling utama. Dalam sebuah Hadits disebutkan bahwa jihad bukan bermakna "perang suci", tapi haji mabrur dan juga bekerja untuk keluarga merupakan perwujudan jihad.

Dengan demikian, jihad sesungguhnya mempunyai makna yang teramat luas. Jihad jelas berbeda dengan perang (qital). Jihad jelas bertentangan dengan segala tindakan yang mengarah pada tindakan kekerasan apalagi terorisme. Sedangkan, perang (qital) dalam al-Quran digunakan dalam kondisi tertentu dan sangat hati-hati.

Meminjam ungkapan Gamal al-Banna, pemikir Muslim asal Mesir, bahwa jihad pada masa lalu adalah "siap mati" di jalan Allah. Tetapi, jihad masa sekarang adalah mempertahankan hidup di jalan Allah. Walhasil, ibadah qurban adalah jihad bagi kaum muslimin untuk kembali ke pusat eksistensialnya, Allah SWT, yaitu berarti pula kembali kepada kesucian. Dan karena itu, sekaligus menemukan kembali makna kemanusiaannya yang universal. Islam secara tegas mengajarkan hubungan vertikal (kepada Allah) dan hubungan horizontal (bersama manusia) harus berimbang. Maknanya bahwa kewajiban untuk beribadah kepada Allah harus pula terimplementasikan dalam kebaikan kepada sesama. Ibadah haji adalah momen yang strategis guna mewujudkan kemanusiaan yang universal yang meneguhkan bahwa manusia adalah bersaudara, setara, penuh kasih saying, dan kerelaan berkorban.


Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)