KOMPAS.com - Senyum dan tawa tidak selalu sama. Bila tertawa lebih didasari pada reaksi spontan, maka senyum bisa dijadikan suatu perilaku yang bisa diajarkan. Tapi perlu kejujuran sebelum terlanjur mengumbar senyum yang memuakkan.
Di depan pintu ruang praktek seorang dokter ada pengumuman. “Pasien dengan gangguan ingatan harap bayar di muka”. Dokter ini jelas mau melucu. Tetapi lelucon yang dipilihnya bisa menyakitkan hati.
Dokter itu mungkin lupa bahwa kebanyakan lelucon menggunakan bahasa lisan sebagai medianya. Dan kenyataan menunjukkan, bahwa bahasa bisa mengundang penafsiran ganda. Karena itu, meski lelucon memang bisa membuat orang tertawa, lelecon juga bisa membuat meringis.
Dalam hal inilah lelucon berbeda dari senyuman. Senyuman tidak memerlukan bahasa lisan, dan tidak pernah menyakitkan hati. Lebih jauh, perbedaan dalam menafsirkan maksud bahasa, bisa dilakukan bahkan oleh orang yang sama. Lelucon yang hari ini bisa membuat saya tertawa, besok atau kemarin bisa membuat saya sakit hati.
Lebih Aman
Ketika membaca sebuah lelucon tentang dokter yang memasang pengumuman seperti di atas, saya mungkin tertawa. Pada waktu itu saya benar-benar punya jarak dengan peristiwa yang diceriterakan. Tapi ketika saya kebetulan datang ke tempat praktek dokter karena sedang stress sehingga banyak melupakan janji, lelucon di atas bisa menyinggung perasaan saya.
Saya jadi menganggap dokter itu mata duitan, tidak punya empati terhadap penderitaan pasien. Saya bisa menganggap bahwa lelucon itu sama sekali tidak lucu. Itu sebabnya jauh lebih aman melemparkan senyum dari pada menyapa seseorang dengan kata-kata yang niatnya mungkin melucu tapi hasilnya bisa menyakitkan.
Selain berbeda dari lelucon, senyum juga berbeda dengan tertawa. Orang terutama tertawa sebagai reaksi terhadap kondisi emosional. Tertawa dipicu oleh proses bawah sadar. Dorongan bawah sadar ini bisa muncul tanpa diundang dan juga bisa tetap muncul pada saat dilarang. Mungkin Anda pernah bersusah payah menahan diri untuk tidak tertawa. Anda mengumpulkan semua kekuatan otot wajah agar tidak terlihat tertawa. Tapi bisa jadi hati Anda tetap tergelitik dan akhirnya tawa Anda toh meledak juga.
Di lain pihak senyum, walaupun kadang-kadang kita menampilkan senyum sebagai reaksi, senyum bisa saja diniatkan. Senyum bisa jadi tingkahlaku bertujuan yang sengaja dilontarkan. Saya pernah melihat seorang bayi berkebangsaan Norwegia yang digendong pengasuhnya. Ketika padanya saya tersenyum, ia membalas. Hatinya bahagia, dan saya juga. Hal ini dimungkinkan karena senyum merupakan bahasa universal. Saya tak perlu paham bahasa Norwegia dan sang bayi tak perlu mengerti budaya Jawa. Hanya dengan senyum, kita sama-sama bahagia .
Latihan Jujur
Perbedaan hakiki antara senyum dan tawa ini mengandung perngertian bahwa senyum bisa dilatih. Orang bisa membiasakan diri untuk tersenyum kepada orang lain. Mereka yang secara sengaja mencoba untuk tersenyum akan mengerti bahwa untuk dapat tersenyum, hati harus merasa senang. Cobalah tersenyum waktu kaki Anda diinjak sepatu lars. Senyum Anda pasti senyum yang palsu. Sama palsunya dengan senyum seorang pramugari yang melayani tanpa tulus hati.
Mungkin juga sama dengan senyum seorang korban perampokan yang dipaksa senyum di bawah todongan senjata. “Ayo senyum, kalau tidak saya tembak kamu”. Senyum-senyum yang terpaksa ini tidak mendatangkan kehangatan kepada penerima senyum dan tidak mendatangkan kegembiraan pada pemberi senyum. Lain halnya kalau kita tersenyum dengan hati yang senang, seperti ketika saya bertukar senyum dengan bayi Norwegia itu.
Kenyataan bahwa untuk tersenyum ramah hati harus benar-benar terbuka, membawa banyak akibat positif kepada orang-orang yang mau bersusah payah berlatih tersenyum jujur kepada orang lain. Tanpa dapat dicegah, orang yang sering tersenyum akan memiliki wajah yang lebih ceria, lebih segar tanpa harus memakai krim perawatan kulit. Bukankah lebih asyik memandang wajah bayi yang tersenyum tanpa make-up dari pada menyaksikan juru rawat yang berdandan menor (untuk menutupi jerawat) tetapi melayani Anda dengan wajah masam? Bukankah ketika Anda melempar senyum kepada seseorang Anda tengah menyiapkan suatu jalinan komunikasi yang menyenangkan?
Sekarang, cobalah Anda tersenyum dulu sebelum melanjutkan membaca tulisan ini. … Bayangkanlah peristiwa yang menyenangkan. Bayangkan kesenangan yang Anda terima ketika seseorang melemparkan senyuman. Bayangkan bayi montok Norwegia yang berwajah ceria tersenyum balik kepada Anda. Lalu yakinkanlah diri Anda bahwa senyum itu baik, … juga untuk diri sendiri. Mari kita tersenyum.@jjw